Hampir semua orang pasti sudah mendengar, bahwa dinyatakannya sah sebuah perjanjian harus memenuhi unsur-unsur sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Pasal ini memang sudah menjadi benchmark bagi para pihak yang hendak membuat perjanjian atau kontrak, karena secara prinsip pasal tersebut merupakan jantung dari perjanjian-perjanjian yang berlaku menurut hukum positif Indonesia. Memang, secara tegas Pasal 1320 KUHPerdata menjelaskan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian terdapat 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi, yakni: 1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3) suatu hal tertentu; dan 4) suatu sebab yang halal.[1] Banyak orang yang beranggapan bahwa jika sebuah perjanjian sudah memenuhi ke-empat syarat tersebut, maka perjanjian itu sudah sah dan mengikat bagi para pihak yang bersangkutan, serta berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya berdasarkan ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menegaskan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”[2] (atau yang biasa dikenal dengan asas pacta sunt servanda). Meskipun demikian, disinilah sering terjadinya misinterpretasi terhadap asas pacta sunt servanda beserta norma yang dianut oleh Pasal 1338 KUHPerdata secara keseluruhan. Padahal, dalam proses pembuatan perjanjian, sering kali ketentuan yang ada dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata tidak diperhatikan, dimana ketentuan tersebut merupakan salah satu pilar dalam asas perjanjian yang turut menentukan tentang sah tidaknya suatu perjanjian, yaitu asas itikad baik. Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menerangkan bahwa “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”[3] Menurut Subekti, asas itikad baik yang terdapat dalam ketentuan ini dapat diartikan yakni dalam menjalankan suatu perjanjian wajib hukumnya tidak boleh bertentangan dengan kepatutan dan keadilan.[4] Sebagai contoh, seseorang kreditur dapat dikatakan melakukan hal yang bertentangan dengan itikad baik, jika kreditur tersebut menuntut pelaksanaan dari suatu perjanjian membuat posisi si debitur menjadi sangat dirugikan, sedangkan keadaan ini diketahui oleh kreditur dimaksud.[5] Perjanjian-perjanjian seperti ini lah yang sering kali membuat para pihak yang bargaining position-nya cenderung lebih tinggi daripada pihak lain menjadi ‘kebakaran jenggot’ karena ketentuan-ketentuan yang tadinya sangat ‘menggiurkan’ dibatalkan oleh Majelis Hakim ketika perjanjian tersebut dihadapkan di pengadilan, karena dianggap ketentuan-ketentuan yang dibatalkan tersebut adalah tidak sah menurut hukum. Sutan Remy Sjahdeini juga turut mempertegas argumen diatas, dimana beliau berpendapat bahwa kebebasan berkontrak hanya dapat mencapai keadilan jika para pihak memiliki bargaining power yang seimbang.[6] Dan Hakim Agung Z. Asikin Kusumah Atmadja yang menjadi Ketua Majelis dalam perkara No. 3431 K/Pdt/1985 kala itu juga memberikan catatan terhadap perkara antara Ny. Boesono dan R. Boesono melawan Sri Setianingsih, yang salah satu kalimat penting dari catatan tersebut ialah: “ … hasil yang patut dan adil tergantung dari kedudukan yang seimbang antara para pihak (gelijkwaaridgheid van partijen). …”[7]
Doktrin-doktrin dari ahli hukum inilah yang sering dipakai oleh para praktisi di pengadilan untuk menyelamatkan pihak yang mempunyai posisi tawar yang lebih rendah/lemah daripada pihak lain di dalam sebuah perjanjian, oleh karena itu suatu perjanjian tidak serta-merta dinyatakan mengikat bagi para pihak apabila didalamnya terdapat ketentuan-ketentuan yang tidak sesuai dengan kepatutan dan keadilan, karena isi dari perjanjian tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum, seperti halnya perkara yang diputus oleh Pengadilan Tinggi Banten No. 15/PDT/2020/PT.BTN tertanggal 17 Maret 2020 jo. Putusan Mahkamah Agung No. 3582 K/Pdt/2020 tertanggal 16 Desember 2020 dimana yang menjadi kuasa hukumnya adalah MAN Law Firm. Maka dari itu, bagi para pihak yang hendak mengikatkan dirinya dengan suatu perjanjian, ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian tersebut harus memenuhi unsur kepatutan dan keadilan. Hal ini perlu dikaji agar setiap perjanjian yang menjadi hukum bagi yang membuatnya benar-benar sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri, yaitu menciptakan rasa keadilan. Catatan Kaki: [1] R. Subekti dan R. Tjitrosubidio, 2002, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 339. [2] Ibid., hal. 342. [3] Ibid., hal. 339. [4] R. Subekti, 1982, Pokok-pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Jakarta, hal. 139. [5] Ibid., hal. 139-140. [6] Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H., 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, hal. 185. [7] Retnowulan Sutantio, “Perjanjian Hutang Pituang dari Sudut Pengadilan”, Varia Peradilan, Tahun V, No. 55, April 1990, hal. 108-109; Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H., Loc. Cit.; dan Putusan Mahkamah Agung RI No. 3431 K/Pdt/1985.
0 Comments
Your comment will be posted after it is approved.
Leave a Reply. |
Kategori |