RH #3: Penemuan Novum sebagai Salah Satu Alasan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Perdata: Teori dan Praktik

Peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa dalam perkara perdata memang sudah menjadi hal yang biasa untuk dilakukan bagi pihak yang masih merasa tidak puas terhadap putusan pengadilan. Meskipun demikian, alasan dapat diajukannya permohonan peninjauan kembali ini diatur secara limitatif, yang berarti permohonan peninjauan kembali hanya dapat dilakukan berdasarkan alasan-alasan yang disebut satu per satu atau enumeratif dalam suatu peraturan perundang-undangan, yang dalam hal ini adalah Pasal 67 Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (“UU MA”).[1] Pasal tersebut mengamanatkan salah satu alasan dapat diajukannya permohonan peninjauan kembali dalam perkara perdata yakni ditemukannya bukti baru (novum),[2] yang pada praktiknya pengaplikasian terhadap alasan ini seringkali terdapat miskonsepsi baik dari penegak hukum maupun masyarakat. Miskonsepsi inilah yang sering berujung membuat bukti yang di klaim sebagai novum ketika diajukan dihadapan pengadilan malah tidak diakui oleh majelis hakim sebagai bukti baru yang sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 67 huruf b UU MA, karena memang pada faktanya bukti yang di klaim sebagai novum tersebut memanglah bukan novum yang sesungguhnya. Sehingga, penting bagi semua orang, terutama penegak hukum, memahami secara menyeluruh tentang apa yang tertuang dalam Pasal 67 huruf b UU MA dan bagaimana pengaplikasiannya dalam dunia praktik.

Yahya Harahap menegaskan dalam bukunya bahwa yang dimaksud dari ketentuan Pasal 67 huruf b UU MA ialah setelah putusan dalam perkara perdata tersebut sudah berkekuatan hukum tetap namun ditemukannya bukti surat yang bersifat menentukan, dimana bukti surat tersebut telah ada sebelum gugatan atau sebelum perkara diajukan ke pengadilan namun selama proses persidangan berlangsung (baik di tingkat pertama, banding, maupun kasasi) tidak dapat ditemukan (mungkin karena hilang atau lupa tempat penyimpanannya), maka keadaan tersebut barulah dapat dikatakan sebagai keadaan yang memenuhi untuk diajukannya permohonan peninjauan kembali dengan alasan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 67 huruf b UU MA.[3] Selain dari keadaan diatas, nilai atau kualitas dari bukti surat tersebut juga harus bersifat menentukan.[4] Maksud dari sifat yang menentukan ini ialah bukti surat tersebut memenuhi syarat formil dan materiil sebagai akta autentik atau akta di bawah tangan, yang kemudian membuat kekuatan pembuktiannya sempurna dan mengikat.[5] Sehingga, makna dari bukti surat yang menentukan ini dapat dilihat dengan cara apabila bukti surat tersebut ditemukan pada proses persidangan berlangsung, majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut akan menjatuhkan putusan yang berbeda dengan putusan yang sekarang.[6] Terhadap bukti surat tersebut juga harus dilakukan penyumpahan dan disahkan oleh pejabat yang berwenang,[7] yang pada intinya penyumpahan tersebut menjelaskan kapan, bagaimana dan dimana bukti surat tersebut ditemukan.[8] Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang dalam hal penyumpahan bukti surat ini tidak terbatas pada suatu pejabat tertentu, karena menurut hukum pengertian dari pejabat yang berwenang dapat diklasifikasikan sebagai pejabat yang memangku jabatan pemerintah umum, seperti gubernur, bupati, walikota, camat, dan kepala desa.[9] Namun dalam praktiknya, seringkali pihak yang meng-klaim menemukan bukti surat atau novum tersebut mengajukan permohonan penyumpahannya dihadapan majelis hakim di pengadilan negeri dimana perkara tersebut diperiksa dan diadili dengan alasan lebih efektif, yang pada hakikatnya hal tersebut juga merupakan hal yang dibenarkan menurut hukum.

Keadaan-keadaan tersebut diatas seringkali tidak diperhatikan bagi para pihak yang berperkara, baik prinsipal maupun kuasa hukumnya. Dengan dalil semata-mata menemukan bukti ‘baru’, pihak tersebut sudah langsung mengklasifikasi bukti yang diajukannya sebagai novum sehingga pihak dimaksud sudah berkeyakinan bahwa syarat-syarat dalam mengajukan permohonan peninjauan kembali sudah terpenuhi, padahal bukti surat tersebut belum tentu sudah memenuhi keadaan-keadaan sebagaimana yang telah dijelaskan diatas. Keadaan bukti ‘baru’ tersebut baru diakui sebagai novum sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 67 huruf b UU MA jika bukti tersebut adalah: 1) bukti surat; 2) telah ada sebelum gugatan atau sebelum perkara diajukan ke pengadilan namun selama proses persidangan berlangsung tidak dapat ditemukan; 3) bersifat menentukan; dan 4) harus disumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwewenang. Apabila salah satu dari empat keadaan tersebut tidak terpenuhi, sudah sepatutnya Majelis Hakim Agung dalam tingkat peninjauan kembali mengesampingkan bukti ‘baru’ tersebut sebagai alasan untuk diajukannya permohonan peninjauan kembali. Maka dari itu, sudah seharusnya bagi seorang penegak hukum, terutama seorang kuasa dalam perkara perdata di pengadilan, bisa memastikan bahwa bukti ‘baru’ tersebut sudah memenuhi keadaan-keadaan diatas jika ingin mengajukan permohonan peninjauan kembali berdasarakan Pasal 67 huruf b UU MA sebelum habisnya tenggang waktu 180 hari sejak ditemukannya bukti surat tersebut.[10]

Untuk menghindari kesalahan penerapan pengajuan permohonan peninjauan kembali atas dasar ditemukannya novum, Mahkamah Agung telah memberikan petunjuk teknis kepada seluruh pengadilan negeri di Indonesia, dimana apabila ada anggota masyarakat yang hendak mengajukan permohonan peninjauan kembali atas dasar ditemukannya novum, maka kepada calon Pemohon Peninjauan Kembali tersebut disamping mengajukan permohonan peninjauan kembali lengkap dengan memori peninjauan kembalinya, calon Pemohon Peninjauan Kembali dimaksud harus mengajukan surat permohonan tersendiri agar dilakukan penyumpahan penemuan novum lengkap dengan bukti novum dan saksi-saksinya, sehingga pengadilan negeri akan mengadakan persidangan tersendiri untuk melakukan penyumpahan penemuan novum tersebut dengan posisi tetap diberikan kesempatan kepada pihak Termohon Peninjauan Kembali untuk memberikan tanggapan atas penemuan novum dimaksud sekaligus punya kesempatan juga untuk mengajukan kontra memori peninjauan kembali. Dengan keluarnya petunjuk teknis pengajuan peninjauan kembali berdasarkan adanya novum ini, hal tersebut sangat berperan dalam meminimalisir kekeliruan-kekeliruan yang ada di kalangan penegak hukum dan juga masyarakat terhadap hal dimaksud, sehingga penemuan novum tersebut benar-benar bisa produktif bagi yang berkepentingan.


Catatan Kaki:
[1] M. Yahya Harahap, 2008, Kekuasaan Mahkamah Agung: Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 449-450.
[2] Pasal 67 huruf b Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara RI Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara RI Tahun 1985 Nomor 3316).
[3] M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 453.
[4] Ibid., hal. 455.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Pasal 69 huruf b Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara RI Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara RI Tahun 1985 Nomor 3316).
[8] M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 455-456.
[9] Ibid., hal. 456.
[10] Pasal 69 huruf b Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara RI Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara RI Tahun 1985 Nomor 3316).