Peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa dalam perkara perdata memang sudah menjadi hal yang biasa untuk dilakukan bagi pihak yang masih merasa tidak puas terhadap putusan pengadilan. Meskipun demikian, alasan dapat diajukannya permohonan peninjauan kembali ini diatur secara limitatif, yang berarti permohonan peninjauan kembali hanya dapat dilakukan berdasarkan alasan-alasan yang disebut satu per satu atau enumeratif dalam suatu peraturan perundang-undangan, yang dalam hal ini adalah Pasal 67 Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (“UU MA”).[1] Pasal tersebut mengamanatkan salah satu alasan dapat diajukannya permohonan peninjauan kembali dalam perkara perdata yakni ditemukannya bukti baru (novum),[2] yang pada praktiknya pengaplikasian terhadap alasan ini seringkali terdapat miskonsepsi baik dari penegak hukum maupun masyarakat. Miskonsepsi inilah yang sering berujung membuat bukti yang di klaim sebagai novum ketika diajukan dihadapan pengadilan malah tidak diakui oleh majelis hakim sebagai bukti baru yang sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 67 huruf b UU MA, karena memang pada faktanya bukti yang di klaim sebagai novum tersebut memanglah bukan novum yang sesungguhnya. Sehingga, penting bagi semua orang, terutama penegak hukum, memahami secara menyeluruh tentang apa yang tertuang dalam Pasal 67 huruf b UU MA dan bagaimana pengaplikasiannya dalam dunia praktik.
0 Comments
RH #2: Jalan Keluar atas Benturan Isi Pasal 50 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara30/12/2021 Layaknya subjek yang diakui dihadapan hukum, pemerintah juga merupakan subjek hukum yang bisa melakukan tindakan-tindakan hukum kepada subjek hukum lainnya, termasuk dalam hal yang ‘berbau’ hukum perdata. Dengan adanya hubungan perdata antara pemerintah dan subjek hukum lain, hal tersebut membuka peluang bahwa adanya kemungkinan pemerintah sebagai subjek hukum bisa ‘dikalahkan’ di hadapan pengadilan jika Majelis Hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan tersebut berkeyakinan bahwa pemerintah memang layak untuk dikalahkan dan dihukum untuk membayar ganti rugi kepada pihak tertentu karena satu dan lain hal. Meskipun demikian, sama seperti subjek hukum lainnya, tidak ada jaminan bahwa pemerintah sebagai subjek hukum yang sudah secara terang dikalahkan oleh pengadilan mau secara sukarela melaksanakan isi putusan pengadilan. Sehingga, upaya hukum lain rasanya perlu dilakukan untuk menegakkan keadilan terhadap subjek hukum yang tidak ingin melaksanakan isi putusan walaupun yang bersangkutan sudah mendapatkan aanmaning (teguran) dari pengadilan, dimana upaya hukum yang tersedia menurut hukum acara perdata terhadap permasalahan tersebut ialah dilaksanakannya sita eksekusi[1] terhadap kekayaan dari pihak yang kalah tersebut (vide Pasal 197 HIR). Sayangnya, pemerintah sendiri bisa dikatakan ‘kebal’ terhadap sita eksekusi ini dengan adanya perlindungan dari Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (“UU Perbendaharaan Negara”), dimana salah satu ketentuannya mengamanatkan bahwa adanya larangan penyitaan terhadap uang dan barang milik negara/daerah dan/atau yang dikuasai negara/daerah.[2] Dari uraian tersebut, timbul permasalahan hukum yang bisa menimbulkan tidak terpenuhinya sebuah keadilan: upaya hukum apa yang bisa menjamin bahwa pemerintah sebagai penguasa suatu daerah mau melaksanakan isi putusan pengadilan tentang pembayaran ganti rugi?
Hampir semua orang pasti sudah mendengar, bahwa dinyatakannya sah sebuah perjanjian harus memenuhi unsur-unsur sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Pasal ini memang sudah menjadi benchmark bagi para pihak yang hendak membuat perjanjian atau kontrak, karena secara prinsip pasal tersebut merupakan jantung dari perjanjian-perjanjian yang berlaku menurut hukum positif Indonesia. Memang, secara tegas Pasal 1320 KUHPerdata menjelaskan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian terdapat 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi, yakni: 1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3) suatu hal tertentu; dan 4) suatu sebab yang halal.[1] Banyak orang yang beranggapan bahwa jika sebuah perjanjian sudah memenuhi ke-empat syarat tersebut, maka perjanjian itu sudah sah dan mengikat bagi para pihak yang bersangkutan, serta berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya berdasarkan ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menegaskan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”[2] (atau yang biasa dikenal dengan asas pacta sunt servanda). Meskipun demikian, disinilah sering terjadinya misinterpretasi terhadap asas pacta sunt servanda beserta norma yang dianut oleh Pasal 1338 KUHPerdata secara keseluruhan. Padahal, dalam proses pembuatan perjanjian, sering kali ketentuan yang ada dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata tidak diperhatikan, dimana ketentuan tersebut merupakan salah satu pilar dalam asas perjanjian yang turut menentukan tentang sah tidaknya suatu perjanjian, yaitu asas itikad baik.
|
Kategori |